mengubah karakter anak dimulai dari simbok

“Anak itu cermin ibunya”

Entah darimana kata-kata itu saya kutip, saya lupa. Yang pasti, buat saya sangat ‘mak jleb‘, dalem banget.

Selama ini saya sering mengeluh dalam hati, mengapa karakter Ridwan kurang baik: pemarah, mudah tersinggung, kurang empati, mau menang sendiri, dan suka berteriak, bahkan terhadap saya, simboknya. Saya tidak merasa ada yang salah dengan diri saya, sebaliknya hanya mengeluh dan berharap sifat dan sikap Ridwan akan semakin membaik seiring bertambahnya usia.

Makanya, pas baca kutipan itu rasanya nyesek banget. Apakah perilaku Ridwan itu mencerminkan perilaku saya sendiri yang tidak saya sadari? Saya musti introspeksi diri, lebih peka, lebih mendengarkan dan memperbaiki komunikasi dengannya. Meski berat untuk mengakui, tapi saya menyadari, apa yang dia lakukan adalah cerminan dari apa yang pernah saya lakukan padanya.

Saat Ridwan teriak, teriakan itu dia pelajari dari teriakan saya padanya, dilakukannya dengan lebih keras dan lebih sering. Saat dia memarahi adiknya, kata-katanya adalah kata-kata yang pernah saya ucapkan padanya, diucapkan dengan cara lebih kasar dan lebih mengintimidasi. Saat dia melotot dengan lawan bicara, itu sama dengan pelototan saya kepadanya saat marah. Saat dia tidak peduli, sikap itu dicontohnya dari sikap saya yang lebih suka mantengin komputer daripada mendampinginya bermain. Saat dia tidak mau mengalah dengan adiknya, dia terinspirasi dari saya sebagai simbok yang ‘nggak boleh kalah sama anak’, dan dia melakukannya dengan lebih ekstrim.

Duh Gusti, rupanya saya sudah menjadi guru yang sukses buat Ridwan. Komunikasi buruk saya dengannya memberikan pelajaran buruk yang amat sukses.

Mengubah perilaku Ridwan yang terlanjur kurang baik bukanlah pekerjaan mudah. Harus dimulai dari diri saya sendiri, dan itu pekerjaan yang lebih berat. Kalau menurut Naomi Aldord yang saya kutip dari tulisan Ellen Kristi, kuncinya adalah validasi emosi, yang berarti kita menerima dan menghargai setiap ekspresi emosional anak. Yang artinya, kita harus sanggup mengendalikan diri: tanpa bentakan, tanpa pelototan, tanpa ngomel, lebih peduli, dan menghargai anak sebagai pribadi yang sejajar.

Buat saya sungguh berat. Seringkali saya kehilangan kendali kendali : Menegur dengan kata-kata keras, menjawab teriakannya dengan dengan bentakan dan pelototannya, bahkan, terkadang saya mengancamnya dengan gagang sapu atau sandal. Sungguh saya simbok yang buruk. Dan lebih buruknya, saya menularkan keburukan saya pada Ridwan, dan mungkin juga Matahari dan Arvin, meskipun saat ini belum terdeteksi.

Tapi saya tidak kehilangan harapan. Saya mulai rajin membaca-baca lagi artikel parenting untuk memotivasi diri saya sendiri. Saya yakin saya bisa mengubah perilaku Ridwan dan saya sendiri menjadi lebih baik. Mungkin tidak sekaligus, tapi sedikit demi sedikit, satu persatu, sehari demi sehari.

Meskipun sudah berusaha, saya gagal, tidak lulus ujian pengendalian diri. Sikap buruk Ridwan saya hadapi dengan buruk pula, dan akibatnya lebih buruk lagi. Hari-hari kami masih diwarnai teriakan dan bentakan. Saya harus introspeksi lagi.  Mengapa saya gagal dan gagal lagi?

Apakah saya kurang berkomitmen? Atau kurang kuat tekad saya? Atau saya masih kurang berusaha?

Tidaaakkkk….Kami harus berubah lebih baik.

Saya tetapkan tujuan : Bebas konflik dengan 3boys

Hari ini sejak pagi saya tanamkan kuat-kuat dalam benak saya : “Tak ada bentakan, apapun situasinya, hadapi dengan senyum dan kata-kata lembut.”

Rupanya saya sudah harus membuktikan kesungguhan saya bahkan sejak bangun tidur. Matahari merengek minta jajan dengan nada memerintah. Biasanya saya akan membentaknya dan menyuruhnya diam sambil ngomel :”Pagi-pagi kok sudah rewel!” Kali ini saya harus lolos ujian. Saya ucapkan lagi tekad saya dalam hati dan berkata : “ Kak, kalau Kakak meminta dengan merengek, menangis, dan kasar begitu, Ibu tidak bisa memenuhi. Coba katakan dengan manis dan sikap yang baik!” pinta saya dengan lembut. Saya katakan itu sambil jongkok hingga mata kami sejajar dan melakukan kontak mata. Dan, puji Tuhan….it’s works!. Tak lama kemudian Matahari berhenti menangis dan mengajak Arvin bermain, bahkan melupakan permintaannya.

Namun, itu hanyalah pembukaan. Ujian yang sesungguhnya adalah komunikasi dengan Ridwan. Dia marah dan membentak Arvin karena mobil-mobilan lego hasil rakitannya dibongkar Arvin. Biasanya saya akan menegur dengan keras dan berlanjut dengan adu argumen bernada tinggi dengannya. Kali ini lagi-lagi harus mengucapkan tekad saya dalam hati, kemudian menegurnya dengan lembut, “Mas!” Ridwan membalas dengan nada tinggi dan memelototi saya,”Ibu!” Ketimbang membalas ketidaksopanannya dengan kata-kata dan pelototan yang pasti akan berkepanjangan, saya memilih diam, menunduk, dan menghindari kontak mata dengannya.

Mengubah sikap buruknya tentu tidak bisa instan, butuh proses dan kesabaran, namun setidaknya saya hari ini berhasil mempersingkat konflik dengan Ridwan. Dan saya bisa menilai diri saya hari ini berhasil mengendalikan diri. Saya yakin, bila saya berhasil mengendalikan diri saya setiap hari, pasti sikapnya pun perlahan-lahan akan berubah lebih baik. Semangat!!!!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar